Jumat, 28 September 2012

evolusi

Apakah Evolusi Suatu Fakta?
”EVOLUSI adalah fakta, sebagaimana panas matahari adalah fakta,” kata seorang ilmuwan evolusionis terkenal, Profesor Richard Dawkins. Tentu saja, fakta bahwa matahari itu panas telah dibuktikan oleh eksperimen dan pengamatan langsung. Tetapi, apakah ajaran evolusi juga telah dibuktikan tanpa terbantahkan oleh eksperimen dan pengamatan langsung?
Sebelum kami menjawab pertanyaan itu, ada yang perlu dijernihkan terlebih dahulu. Banyak ilmuwan telah memperhatikan bahwa seraya waktu berlalu, keturunan suatu makhluk hidup bisa mengalami sedikit perubahan. Charles Darwin menyebut proses ini ”turunan dengan modifikasi lanjutan”. Perubahan demikian telah diamati secara langsung, didokumentasikan dalam eksperimen, dan dengan cerdik dimanfaatkan oleh para penangkar tanaman dan binatang.* Perubahan ini dapat dianggap sebagai fakta. Akan tetapi, para ilmuwan mengistilahkan perubahan kecil ini sebagai ”mikroevolusi”. Nama ini saja sudah menyiratkan apa yang ditegaskan oleh banyak ilmuwan—bahwa perubahan kecil ini membuktikan suatu fenomena yang sama sekali berbeda, yang tidak dapat diamati oleh siapa pun, yang mereka sebut makroevolusi.
Tetapi, Darwin menarik kesimpulan jauh di luar lingkup perubahan yang dapat diamati tersebut. Ia menulis dalam bukunya yang terkenal The Origin of Species, ”Saya memandang semua makhluk hidup bukan sebagai ciptaan khusus, melainkan sebagai keturunan segelintir makhluk hidup.” Menurut Darwin, selama jangka waktu yang sangat panjang, ”segelintir makhluk hidup” yang mula-mula itu, atau yang disebut bentuk kehidupan yang sederhana, lambat laun berevolusi—melalui ”berbagai modifikasi yang sangat kecil”—menjadi jutaan bentuk kehidupan di bumi. Para evolusionis mengajarkan bahwa perubahan-perubahan kecil ini berakumulasi dan menghasilkan perubahan besar yang dibutuhkan untuk mengubah ikan menjadi amfibi dan kera menjadi manusia. Perubahan besar yang bersifat hipotesis ini disebut makroevolusi. Bagi banyak orang, pernyataan kedua ini kedengarannya masuk akal. Mereka menduga, ’Jika perubahan-perubahan kecil bisa terjadi dalam suatu spesies, bukankah evolusi bisa menghasilkan perubahan besar dalam jangka waktu yang panjang?’*
Ajaran makroevolusi didasarkan atas tiga asumsi utama:
1. Mutasi menyediakan bahan mentah yang dibutuhkan untuk terciptanya spesies baru.*
2. Seleksi alam menyebabkan terbentuknya spesies baru.
3. Catatan fosil mendokumentasikan perubahan makroevolusi pada tumbuhan dan hewan.
Apakah bukti untuk makroevolusi sudah sedemikian kuatnya sehingga dapat dianggap sebagai fakta?
Dapatkah Mutasi Menghasilkan Spesies Baru?
Banyak perincian pada tumbuhan dan hewan ditentukan oleh instruksi yang terkandung dalam kode genetika, cetak biru yang terbungkus dalam inti setiap sel.* Para peneliti telah menemukan bahwa mutasi—atau perubahan acak—pada kode genetika dapat menghasilkan perubahan pada keturunan tumbuhan dan hewan. Pada tahun 1946, Hermann J. Muller, pemenang Hadiah Nobel dan pemula penelitian genetika mutasi, menyatakan, ”Akumulasi dari banyaknya perubahan yang langka dan kebanyakan kecil itu bukan saja merupakan cara utama manusia untuk memperbaiki hewan dan tumbuhan, melainkan, lebih jauh lagi, merupakan cara terjadinya evolusi di alam, di bawah pengarahan seleksi alam.”
Ya, ajaran makroevolusi didasarkan atas pernyataan bahwa mutasi tidak hanya dapat menghasilkan spesies baru, tetapi juga famili tumbuhan dan hewan yang sama sekali baru. Adakah cara untuk menguji pernyataan yang berani itu? Nah, perhatikan apa yang disingkapkan oleh penelitian selama sekitar 100 tahun di bidang riset genetika.
Pada akhir tahun 1930-an, para ilmuwan dengan antusias menyambut gagasan bahwa kalau seleksi alam dapat menghasilkan spesies tanaman yang baru dari mutasi acak, mutasi buatan yang sengaja diseleksi oleh manusia seharusnya bisa membuahkan hasil yang lebih efisien. ”Euforia pun menyebar di kalangan biolog pada umumnya dan para ahli genetika serta penangkar pada khususnya,” kata Wolf-Ekkehard Lönnig, seorang ilmuwan dari Institut Max Planck untuk Riset Penangkaran Tanaman di Jerman, yang diwawancarai oleh Sedarlah! Mengapa terjadi euforia? Lönnig, yang sudah sekitar 28 tahun mempelajari genetika mutasi pada tanaman, mengatakan, ”Para peneliti itu mengira bahwa waktunya telah tiba untuk merevolusi metode tradisional penangkaran tanaman dan binatang. Mereka mengira bahwa dengan memicu serta menyeleksi mutasi yang disukai, mereka bisa menghasilkan tanaman dan binatang yang baru dan lebih baik.”*
Para ilmuwan di Amerika Serikat, Asia, dan Eropa memulai program riset berdana besar, menggunakan metode-metode yang diyakini bisa mempercepat evolusi. Setelah riset yang intensif selama lebih dari 40 tahun, apa hasilnya? ”Sekalipun sudah menghabiskan dana yang luar biasa besar,” kata peneliti Peter von Sengbusch, ”upaya membudidayakan varietas yang makin produktif melalui iradiasi, benar-benar terbukti gagal.” Lönnig mengatakan, ”Pada tahun 1980-an, harapan dan euforia di kalangan ilmuwan telah berakhir dengan kegagalan global. Penangkaran mutasi sebagai cabang riset tersendiri telah ditinggalkan di negeri-negeri Barat. Hampir semua mutan menunjukkan ’nilai seleksi negatif’, artinya, mereka mati atau lebih lemah daripada varietas yang ada di alam.”*
Sekalipun demikian, data yang kini telah terkumpul dari sekitar 100 tahun riset mutasi pada umumnya dan 70 tahun penangkaran mutasi pada khususnya memungkinkan para ilmuwan menarik kesimpulan tentang kemampuan mutasi untuk menghasilkan spesies baru. Setelah memeriksa buktinya, Lönnig menyimpulkan, ”Mutasi tidak dapat mengubah suatu spesies asli [tumbuhan atau hewan] menjadi spesies yang sama sekali baru. Kesimpulan ini selaras dengan gabungan semua pengalaman dan hasil riset mutasi sepanjang abad ke-20 serta hukum probabilitas. Jadi, hukum variasi berulang menyiratkan bahwa spesies yang secara genetis berbeda dari spesies lain memiliki batas-batas tertentu yang tidak dapat diruntuhkan atau dilanggar oleh mutasi yang terjadi secara kebetulan.”
Pikirkan implikasi fakta-fakta di atas. Jika para ilmuwan yang sangat terlatih tidak sanggup menghasilkan spesies baru dengan memicu serta menyeleksi mutasi yang disukai, mungkinkah suatu proses tanpa kecerdasan melakukannya dengan lebih baik? Jika riset memperlihatkan bahwa mutasi tidak dapat mengubah suatu spesies asli menjadi spesies yang sama sekali baru, lalu bagaimana persisnya proses makroevolusi berlangsung?
Apakah Seleksi Alam Menyebabkan Terciptanya Spesies Baru?
Darwin yakin bahwa apa yang ia sebut seleksi alam akan memilih bentuk kehidupan yang paling cocok dengan lingkungannya, sedangkan bentuk kehidupan yang kurang cocok akhirnya akan punah. Para evolusionis modern mengajarkan bahwa seraya spesies menyebar lalu terisolasi, seleksi alam akan memilih spesies yang mutasi gennya menjadikan mereka paling cocok dengan lingkungan baru mereka. Sebagai hasilnya, para evolusionis berasumsi bahwa kelompok-kelompok yang terisolasi itu akhirnya berkembang menjadi spesies yang benar-benar baru.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bukti hasil riset dengan jelas menunjukkan bahwa mutasi tidak dapat menghasilkan jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang baru. Walaupun demikian, bukti apa yang diajukan para evolusionis untuk mendukung pernyataan bahwa seleksi alam memilih mutasi yang berguna sehingga menghasilkan spesies baru? Sebuah brosur yang diterbitkan pada tahun 1999 oleh Lembaga Sains Nasional (NAS) di Amerika Serikat mengatakan, ”Contoh yang khususnya amat meyakinkan tentang spesiasi [evolusi spesies baru] adalah ke-13 spesies burung kenari yang dipelajari oleh Darwin di Kepulauan Galápagos, yang kini dikenal sebagai kenari Darwin.”
Pada tahun 1970-an, suatu kelompok riset di bawah pimpinan Peter dan Rosemary Grant mulai mempelajari burung-burung ini dan mendapati bahwa setelah satu tahun musim kering, kenari yang paruhnya sedikit lebih besar lebih mudah bertahan hidup daripada yang paruhnya kecil. Karena ukuran dan bentuk paruh adalah salah satu cara utama untuk membedakan ke-13 spesies kenari itu, temuan ini dianggap sangat penting. ”Peter dan Rosemary Grant memperkirakan,” lanjut brosur itu, ”bahwa jika musim kering terjadi kira-kira sekali setiap 10 tahun di pulau itu, sebuah spesies kenari yang baru bisa muncul hanya dalam kira-kira 200 tahun.”
Tetapi, brosur NAS itu lalai menyebutkan fakta penting lain yang memalukan. Pada tahun-tahun berikutnya setelah musim kering itu, jumlah kenari berparuh kecil kembali mendominasi. Maka, Peter Grant dan seorang mahasiswi pascasarjana bernama Lisle Gibbs menulis dalam jurnal sains Nature pada tahun 1987 bahwa mereka telah melihat ”pembalikan arah seleksi”. Pada tahun 1991, Grant menulis bahwa ”populasi itu, yang mengalami seleksi alam, jumlahnya naik turun” setiap kali ada perubahan iklim. Para peneliti itu juga memperhatikan bahwa beberapa ”spesies” kenari melakukan kawin silang dan menghasilkan keturunan yang lebih tangguh daripada induknya. Peter dan Rosemary Grant menyimpulkan bahwa jika kawin silang ini berlanjut, dua ”spesies” itu bisa melebur menjadi satu dalam waktu 200 tahun.
Dahulu, pada tahun 1966, biolog pendukung evolusi George Christopher Williams menulis, ”Menurut saya, sangatlah disayangkan bahwa teori seleksi alam terutama dikembangkan untuk menjelaskan perubahan evolusi. Teori itu jauh lebih penting untuk menjelaskan kelanjutan adaptasi.” Pakar teori evolusi Jeffrey Schwartz menulis pada tahun 1999 bahwa jika kesimpulan Williams benar, seleksi alam bisa jadi memang membantu spesies beradaptasi menurut perubahan tuntutan kelangsungan hidup, tetapi ”itu tidak menciptakan sesuatu yang baru”.
Ya, kenari Darwin tidak menjadi ”sesuatu yang baru”. Mereka tetap burung kenari. Dan, fakta bahwa mereka bisa melakukan kawin silang membuat orang meragukan metode yang digunakan beberapa evolusionis untuk menentukan suatu spesies. Lagi pula, mereka menyingkapkan fakta bahwa bahkan lembaga ilmiah yang bergengsi pun bisa ikut-ikutan melaporkan bukti secara tidak objektif.
Apakah Catatan Fosil Mendokumentasikan Perubahan Makroevolusi?
Brosur NAS yang tadi disebutkan memberikan kesan kepada pembacanya bahwa fosil yang ditemukan para ilmuwan sudah lebih dari cukup untuk mendokumentasikan makroevolusi. Brosur itu menyatakan, ”Ada begitu banyak bentuk peralihan yang telah ditemukan antara ikan dan amfibi, antara amfibi dan reptil, antara reptil dan mamalia, dan sepanjang garis keturunan primata sehingga sering kali sulit untuk menunjukkan dengan tepat kapan terjadinya transisi dari satu spesies ke spesies lainnya.”
Pernyataan yang penuh keyakinan ini cukup mengejutkan. Mengapa? Pada tahun 2004, National Geographic menggambarkan catatan fosil seperti ”sebuah film evolusi yang 999 dari setiap 1.000 gambarnya hilang di ruang sensor”. Apakah satu dari seribu ”gambar” itu benar-benar mendokumentasikan proses makroevolusi? Apa yang sebenarnya diperlihatkan oleh catatan fosil? Niles Eldredge, seorang evolusionis yang gigih, mengakui bahwa catatan fosil memperlihatkan bahwa untuk waktu yang lama, ”hanya sedikit atau tidak ada perubahan evolusi yang berakumulasi dalam kebanyakan spesies”.
Sampai hari ini, para ilmuwan di seluruh dunia telah menggali dan mendata sekitar 200 juta fosil besar dan miliaran fosil kecil. Banyak peneliti setuju bahwa catatan yang luar biasa banyak dan terperinci itu memperlihatkan bahwa semua kelompok utama binatang muncul secara tiba-tiba dan hampir-hampir tidak berubah, dan ada banyak spesies yang punah secepat munculnya. Setelah meninjau bukti dari catatan fosil, biolog Jonathan Wells menulis, ”Pada tingkat dunia, filum, dan kelas, turunan dengan modifikasi dari satu nenek moyang jelas bukan fakta yang dapat diamati. Kalau dinilai berdasarkan bukti dari catatan fosil dan rumitnya sistem molekuler, itu bahkan bukan teori yang kuat dasarnya.”
Evolusi—Fakta atau Mitos?
Mengapa banyak evolusionis terkemuka berkeras bahwa makroevolusi merupakan suatu fakta? Setelah mengkritik beberapa penalaran Richard Dawkins, seorang evolusionis yang berpengaruh bernama Richard Lewontin menulis bahwa banyak ilmuwan bersedia mempercayai pernyataan ilmiah yang bertentangan dengan akal sehat ”karena kita telanjur berkomitmen, komitmen kepada paham kebendaan”.* Banyak ilmuwan bahkan tidak mau mempertimbangkan kemungkinan adanya Perancang yang cerdas karena, seperti yang ditulis Lewontin, ”kita tidak bisa menerima kehadiran Pribadi Ilahi”.
Mengenai hal ini, Scientific American mengutip kata-kata sosiolog Rodney Stark, ”Selama 200 tahun ini telah dipropagandakan bahwa jika Anda ingin menjadi orang yang ilmiah, Anda harus membebaskan pikiran Anda dari belenggu agama.” Selanjutnya ia menyatakan bahwa dalam universitas riset ”orang-orang yang religius bungkam”, sedangkan ”orang-orang yang tidak religius berprasangka”. Menurut Stark, ”ada semacam sistem imbalan jika seseorang bersikap tidak religius di jajaran atas [komunitas sains]”.
Seandainya Anda mengakui bahwa ajaran makroevolusi itu benar, Anda harus percaya bahwa para ilmuwan agnostis atau ateis tidak akan membiarkan keyakinan pribadi mereka mempengaruhi penafsiran mereka atas temuan-temuan ilmiah. Anda harus percaya bahwa mutasi dan seleksi alam menghasilkan semua bentuk kehidupan yang rumit, terlepas dari fakta bahwa riset selama seabad untuk meneliti miliaran mutasi telah memperlihatkan bahwa mutasi tidak dapat mengubah bahkan satu spesies yang jelas karakteristiknya menjadi sesuatu yang sama sekali baru. Anda harus percaya bahwa semua makhluk hidup perlahan-lahan berevolusi dari satu nenek moyang, terlepas dari fakta bahwa catatan fosil dengan tegas menunjukkan bahwa jenis-jenis utama tumbuhan dan hewan muncul secara tiba-tiba dan tidak berevolusi menjadi jenis lain, bahkan setelah kurun waktu yang tak terhitung lamanya. Apakah kepercayaan semacam itu kedengarannya didasarkan atas fakta atau mitos?
[Catatan Kaki]
Penangkar bisa mengawinkan anjing mereka secara selektif agar keturunan yang dihasilkan memiliki kaki yang lebih pendek atau bulu yang lebih panjang daripada induknya. Tetapi, perubahan yang dihasilkan para penangkar anjing itu sering kali merupakan akibat hilangnya fungsi gen tertentu. Sebagai contoh, anjing dachshund berukuran kecil karena tulang rawannya tidak berkembang normal, sehingga mengakibatkan kekerdilan.
Meskipun kata ”spesies” sering digunakan dalam artikel ini, hendaknya diperhatikan bahwa istilah ini tidak terdapat dalam buku Kejadian dalam Alkitab, yang menggunakan istilah ”jenis” yang lebih luas cakupannya. Sering kali, apa yang para ilmuwan sebut sebagai evolusi suatu spesies baru sebenarnya hanyalah variasi dalam suatu ”jenis”, sebagaimana kata itu digunakan di catatan Kejadian.
Lihat kotak ”Klasifikasi Makhluk Hidup”.
Riset memperlihatkan bahwa sitoplasma, atau membran sel, dan struktur-struktur lain juga berperan dalam pembentukan makhluk hidup.
Komentar Lönnig dalam artikel ini adalah pernyataannya sendiri dan tidak mewakili pendapat Institut Max Planck untuk Riset Penangkaran Tanaman.
Eksperimen mutasi berulang kali menunjukkan bahwa jumlah mutan yang baru terus berkurang, sedangkan jenis mutan yang sama terus muncul. Dari fenomena ini, Lönnig menyimpulkan ”hukum variasi berulang”. Selain itu, kurang dari 1 persen tanaman hasil mutasi itu terpilih untuk riset selanjutnya, dan kurang dari 1 persen dari kelompok ini didapati cocok untuk digunakan secara komersial. Hasil penangkaran mutasi pada binatang bahkan lebih buruk daripada pada tanaman, dan metode tersebut ditinggalkan sama sekali.
Paham kebendaan yang dimaksud di sini adalah teori bahwa benda-benda fisik adalah satu-satunya hal yang nyata atau fundamental, bahwa segala sesuatu di alam semesta, termasuk segala jenis kehidupan, muncul tanpa campur tangan supranatural dalam prosesnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar